BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Kedudukan perempuan dalam membangun Indonesia modern perlu terus
ditingkatkan serta diarahkan sesuai dengan kodrat, dan harkat martabat
perempuan. Untuk itu perempuan perlu mempertebal kepercayaan dirinya dengan meningkatkan pengetahuan dan wawasan, dan keterampilan
dalam menghadapi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kaum perempuan
hendaknya mampu menemukan konsep dirinya, serta mampu mengidentifikasikan
dirinya, agar tidak kalah dan mampu berkompetisi seiring evolusi masa.
Pembangunan nasional dan perjuangan
kaum perempuan bersama kaum laki-laki merupakan suatu sistem yang idealnya
memang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Suatu
sistem dikatakan berjalan optimal jika seluruh komponen mampu berkerja sama
dengan baik untuk mencapai tujuan yang diinginkan bersama. Merujuk dari
definisi bahwa pembangunan nasional akan tercapai dengan baik jika kaum
perempuan dan laki-laki mampu bekerja sama dalam berbagai bidang tentu adalah
gagasan yang tim penulis pikir gagasan yang cerdas. Hal ini setidaknya
memberikan warna yang cerah terhadap prinsip kesetaraan gender. Selama ini kaum
perempuan berada dalam posisi yang kurang menguntungkan dalam ranah publik, ini
didasarkan karena banyak asumsi yang mengatakan bahwa kaum perempuan lebih cocok
beraktivitas di ranah domestik daripada ranah publik.
Munculnya dikotomi ini senada
dengan pendapat umum yang mengatakan bahwa dunianya kaum perempuan adalah ranah
domestik sementara dunia kaum laki-laki adalah ranah publik. Hal ini
diasumsikan atas dasar kaum perempuan mempunyai karakter yang lembut dan
mempunyai tendensi menggunakan perasaannya ketika memutuskan sebuah sikap. Di
sisi lain dunia politik adalah dunia yang tentunya berbeda dengan ranah
domestik, dunia politik sering dianalogikan sebagai dunia yang kejam, kasar dan
penuh dengan permainan kekuasaan. Menjadi wajar jika saat ini ketika peran
perempuan dalam ranah publik khususnya politik sering dipandang sebelah mata.
Dalam status quo kaum perempuan
yang menempati posisi-posisi yang strategis di bidang politik bukan hanya
menemui kesulitan saat berkontestasi karena alasan bahwa perempuan lemah, dan
tidak cocok di dunia politik, akan tetapi problematika dan kontroversi pun
mulai berlanjut saat kaum perempuan menduduki posisi strategis di dunia politik.
Kontoversi yang muncul saat ini salah satunya adalah kaum perempuan mulai
terkena dalam lingkaran korupsi. Entah ini karena posisi kaum perempuan yang
minor di pentas politik atau bahkan dikarenakan permainan politik. Untuk
melihat bagaimana kaum perempuan terlibat dan faktor yang menyertai dalam kasus
korupsi, maka akan dibahas pada bab pembahasan.
b. Rumusan Masalah
1. Bagaimana
kendala dan peluang wanita dalam partisipasi di dunia politik?
2. Apa
Faktor yang menyebabkan perempuan terlibat dalam kasus korupsi?
c.
Tujuan
Tujuan
dari makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Untuk
mendeskripsikan bagaimana peluang dan kendala kaum perempuan dalam
berpartisipasi di dunia politik.
2. Untuk
menganalisis faktor apa yang menyebabkan perempuan terlibat dalam tindakan korupsi.
d.
Manfaat
Manfaat
yang diperoleh dari makalah ini antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai
media pembelajaran bagi sivitas akademik untuk mempelajari kendala dan peluang
apa saja yang ditempuh perempuan dalam berpartisipasi di dunia politik.
2. Sebagai
referensi bagi mahasiswa untuk membuat tugas berkaitan dengan kasus
keterlibatan perempuan dalam korupsi.
BAB II
PEMBAHASAN
a.
Kendala
dan Peluang Perempuan dalam Dunia Politik
Isu-isu
yang mengangkat tema perempuan dalam kegiatan publik semakin sering
didiskusikan. Banyak penelitian dan pertemuan ilmiah dilakukan untuk mengkaji
lebih mengenai sosok dan kiprah perempuan di ranah publik, perempuan tidak lagi
bekerja di ranah domestik yang hanya harus mengurus kegiatan yang ada di dalam
rumah tangga, tetapi juga berhak terlibat dalam ranah publik.[1] Keterlibatan ini memang seharusnya
diberlakukan sesuai dengan prinsip Negara demokrasi bahwa setiap warga Negara
berhak untuk terlibat dalam aktivitas publik
Namun
dalam perjalanan perempuan berpartisipasi dalam ranah public khususnya politik,
tidaklah semulus yang dibayangkan, kalau ada peluang tentu ada juga kendala
yang menyertainya, kendala itu antara lain sebagai berikut:
1. Dari
sesama perempuan itu sendiri, ada kecenderungan dari perempuan itu sulit untuk
memberikan kesempatan pada perempuan lainnya.
2. Kendala
dari dari perempuan itu sendiri, misalnya kurang percaya diri, merasa malu
untuk menunjukkan kemampuannya, masyarakat kita belum menerimanya dan belum
terbiasa bila perempuan mengajukan dirinya.
3. Kemampuan
dari perempuan itu sendiri, walaupun ada kesempatan. Banyak kesempatan bagi
perempuan misalnya kuota minimal 30% untuk caleg, pada pemilu 2004-2009,
ternyata banyak yang tidak terpenuhi, dan yang terisi hanya sekitar 9%.[2]
Sementara
peluang wanita antara lain tercantum dalam peraturan dan Undang-Undang:
1. UUD
1945 pasal 27
2. UU
No.68 Tahun 1958 tentang Persetujuan Konvensi Hak-hak Politik Kaum Perempuan.
3. UU
No.7 Tahun 1984 tentang pengesahan Konvensi mengenai Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Wanita.
4. UU
No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
5. UU
No.31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
6. UU
No.12 Tahun 2013 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan
DPRD Kabupaten/Kota.
b.
Definisi
Korupsi
Kata
“korupsi” berasal dari bahasa Latin
“corruptio” (Fockema Andrea :
1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian
dikenal istilah “corruption,
corrupt” (Inggris), “corruption”
(Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.
Di
Malaysia terdapat peraturan anti korupsi, dipakai kata “resuah” berasal dari
bahasa Arab “risywah”, menurut Kamus umum Arab-Indonesia artinya sama dengan
korupsi (Andi Hamzah: 2002). Risywah
(suap) secara terminologis berarti pemberian yang diberikan seseorang kepada
hakim atau lainnya untuk memenangkan perkaranya dengan cara yang tidak
dibenarkan atau untuk memperoleh kedudukan (al-Misbah al-Munir–al Fayumi,
al-Muhalla–Ibnu Hazm). Semua ulama sepakat mengharamkan risywah yang terkait dengan pemutusan hukum,
bahkan perbuatan ini termasuk dosa besar. Sebagaimana yang telah diisyaratkan
beberapa Nash Qur’aniyah dan Sunnah Nabawiyah yang antara lain menyatakan:
”Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak
memakan yang haram” (QS Al Maidah 42). Imam al-Hasan dan Said bin Jubair
menginterpretasikan ‘akkaaluna lissuhti’ dengan risywah.
Jadi
risywah (suap menyuap) identik dengan memakan barang yang diharamkan oleh Allah
SWT. Jadi diharamkan mencari suap, menyuap dan menerima suap. Begitu juga
mediator antara penyuap dan yang disuap. Hanya saja jumhur ulama membolehkan penyuapan
yang dilakukan untuk memperoleh hak dan mencegah kezhaliman seseorang. Namun
orang yang menerima suap tetap berdosa (Kasyful Qona’ 6/316, Nihayatul Muhtaj
8/243, al-Qurtubi 6/183, Ibnu Abidin 4/304, al-Muhalla 8/118, Matalib Ulin Nuha
6/479). Istilah korupsi yang telah diterima dalam perbendaharaan kata bahasa
Indonesia, adalah “kejahatan, kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan
dan ketidakjujuran. Pengertian lainnya, “perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok, dan sebagainya” .
c.
Perempuan
dan Korupsi
Kaum
Perempuan adalah kaum yang sangat mulia, wajar jika Rasulullah SAW menyebutkan
bahwa syurga ada di telapak kaki ibu, mereka adalah kaum yang penuh kelembutan,
kasih saying, dan berbudi pekerti halus. Baik atau tidaknya seorang anak yang
dilahirkan ke dunia ini tergantung dari didikan seorang ibu, karena ibulah yang
pertama kali orang yang paling dekat dengan kita, sehingga kita bisa mengenal
keluarga kita, lingkungan kita, dan siapa kita sebenarnya.
Namun
agaknya pernyataan itu agak bergeser manakala banyak kaum perempuan yang mulai
terlibat dalam kasus korupsi, emansipasi perempuan tidak hanya sukses
memberikan warna positif terhadap perempuan akan tetapi juga mulai menggiring
kaum perempuan ke zona menyimpang misalnya kasus korupsi. Bisa dibayangkan
bagaimana perasaan seorang perempuan penggagas konsep emansipasi wanita jika
melihat kaum-kaumnya seperti sekarang ini, ada rasa bahagia jika melihat
kaumnya sudah meningkat kedudukannya di berbagai bidang, namun ada kesedihan
jika melihat banyak kaumnya yang mulai terlibat dalam lingkaran hitam korupsi.
Kasus
korupsi yang kerapkali terdengar adalah potret kelam dari demokrasi di
Indonesia, kasus korupsi bukanlah suatu diskursus yang awam di antara kita.
Korupsi bukan saja didominasi kaum laki-laki, akan tetapi kasus korupsi juga
mulai tidak mengenal jenis kelamin laki-laki. Beberapa contoh kasus kaum
perempuan yang terlibat korupsi misalnya Ratu Atut selaku gubernur Banten,
Angelina Sondakh, dan masih banyak lagi baik itu yang diketahui secara langsung
melalui media atau bahkan yang belum diliput oleh media.
Adanya
pemberitaan media mengenai keterlibatan kaum perempuan dalam kasus korupsi
bukanlah hal yang kebetulan saja akan tetapi menjadi suatu indikasi bahwa
ternyata tindakan korupsi sudah menjadi potret hitam dari kegagalannya
demokrasi, kalau dulu tindakan korupsi hanya tersentralistis pada pusat, namun
sekarang permasalahannya semakin kompleks. Tentunya tindakan korupsi tidak
hanya disertai dengan tindakan ingin memperkaya diri, karena pasti ada
probabilitas yang muncul bahwa tindakan korupsi yang melibatkan perempuan ini
diiringi oleh faktor lain juga.
Faktor-faktor
yang menyebabkan kaum perempuan terlibat dalam tindakan korupsi bisa
dikarenakan faktor internal dan juga faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang berasal dari dalam diri manusia, sementara faktor eksternal adalah
faktor yang berasal dari luar individu.
Faktor Penyebab Kaum Perempuan
Terlibat Dalam Korupsi
Korupsi
saat ini tidak lagi mengenal jenis kelamin, tindakan korupsi yang merebak dalam
negeri ini sekarang. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan perempuan
terlibat dalam korupsi, antara lain sebagai berikut:
a.
Aspek
ekonomi
Sudah menjadi realita
umum bahwa aspek ekonomi seringkali mengkerdilkan kepribadian positif
seseorang, individu yang putus asa dengan hidupnya karena faktor ekonomi akan
berusaha mencari alternatif instan untuk mengubah kehidupannya agar lebih baik
lagi, misalnya dengan mencuri, merampok, mengemis, dan tentunya dengan
melakukan korupsi.
Korupsi menjadi salah
satu cara yang ditempuh para koruptor untuk mendapatkan kehidupannya lebih
baik, para kaum perempuan yang terlibat dalam kasus korupsi melakukan tindakan
korupsi karena mereka juga mengalami hal yang sama. Keterhimpitan ekonomi
menjadi faktor pendorong (push factor) bagi kaum perempuan melakukan tindakan
korupsi, karena ekonomi adalah aspek yang sangat fundamental dalam hidup
manusia. Mengapa dikatakan fundamental, karena setiap individu mempunyai tujuan
yang sama yaitun ingin hidup lebih baik dengan kondisi yang baik pula, bisa
dibayangkan ketika aspek ekonomi itu tidak terpenuhi tentu akan banyak para
individu atau kelompok yang merasa termarjinalkan.
Kebutuhan manusia yang
terus meningkat sementara pendapatan manusia terbatas untuk mendapatkan
kebutuhannya menjadi alasan mengapa perempuan melakukan tindakan korupsi. Apalagi
aspek ekonomi yang dinilai bukan hanya masalah kebutuhan primer saja, adalagi kebutuhan
lain yang mengiringi perempuan berkecenderungan untuk melakukan tindakan
korupsi, misalnya kebutuhan untuk pendidikan anak-anaknya yang berkelas, dan
untuk memenuhi kebutuhan seperti ini tentunya tidak memerlukan biaya yang
sedikit, sementara pendapatan mereka dan pendapatan sang suami terbatas dalam
hal ini. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, dipilihlah cara instan misalnya
dengan melakukan tindakan korupsi tadi. Lantas bagaimana dengan mereka yang
melakukan korupsi adalah para perempuan yang memiliki materi yang berlimpah
dengan tingkat pendidikan yang bagus pula?
b.
Aspek
sekulerisme dan hedonisme
Untuk menjawab pertanyaan
dari aspek di atas, maka tim penyusun akan membahasnya pada aspek ini, menurut
penyusun tindakan korupsi yang dilakukan oleh kaum perempuan tidak ada
hubungannya antara tindakan yang dilakukan mereka dengan jenis kelamin mereka,
dalam hal ini kami berpendapat bahwa tindakan korupsi yang dilakukan oleh para
kaum perempuan adalah sebuah penyimpangan yang dilakukan oleh manusia-manusia
yang putus asa karena ingin memenuhi kebutuhan hidupnya.
Aspek kapitalis dan
gaya hidup konsumtif menjadi referensi kaum perempuan untuk diterima di
lingkungan yang bergengsi. Kaum perempuan cenderung memiliki kebutuhan yang
lebih dominan daripada laki-laki, mulai dari pakaian, perhiasan, sampai dengan
bagaimana mereka bisa diterima dilingkungan yang mewah. Gaya hidup yang mewah,
belanja di tempat-tempat berkelas dengan harga yang fantastis, liburan ke luar
negeri, makan di restoran mewah menjadi standar hidup perempuan modern sekarang
ini, sehingga untuk memenuhi kebutuhan ini mereka rela melakukan apapun karena
mereka ingin diterima di lingkungan yang sesuai dengan keinginan mereka.
Berbeda dengan agama
yang memberikan konsep dikotomi antara yang baik dan yang buruk. Para perempuan
yang melakukan tindakan korupsi adalah mereka yang telah terjerumus dalam arus
hedonisme misalnya Melinda Dee yang dikabarkan memiliki banyak harta dan mobil
mewah, itu semua ternyata didapatkan dari hasil korupsi. Atau katakanlah
Angelina Sondakh merupakan salah satu finalis putri Indonesia, Angelina Sondakh
adalah perempuan cerdas dan mempunyai materi yang cukup, akan tetapi mengapa
Angie masih terlibat dalam kasus korupsi padahal dia mempunyai materi yang cukup.
Boleh jadi ini dikarenakan karena Angie tidak pernah puas dengan apa yang telah
didapatkannya sehingga untuk memenuhi kebutuhan tersiernya dia masuk dalam
kasus korupsi. Masyarakat awampun sebenarnya bisa melihat bagaiaman penampilan
para perempuan yang disebutkan di atas saat media meliputnya, mereka masih bisa
tampil cantik meski sudah divonis hukuman. Ini mengindikasikan bahwa memang
pola hidup yang mewah dan sekuler menjadikan mereka terlibat dalam kasus
korupsi.
c.
Aspek
Politik
Aspek politik tentunya
adalah salah faktor mengapa perempuan melakukan tindakan korupsi, masuknya
perempuan ke dalam ranah publik khususnya politik memberikan peluang kepada
kaum perempuan untuk melakukan tindakan menyimpang tersebut, terlebih lagi
dengan diberlakukannya Undang-Undang No.68 Tahun 1958 tentang Persetujuan
Konvensi Hak-hak Politik Kaum Wanita. Adanya kewenangan bagi perempuan untuk
masuk ke dunia politik bisa menjadi langkah awal bagi kaum perempuan terlibat
dalam ranah korupsi. Lantas bagaimana kaum perempuan dapat terlibat dalam kasus
korupsi?
Pertanyaan di atas
sebenarnya merujuk pada mengapa kaum perempuan bisa terlibat dalam tindakan
korupsi padahal ada pendapat lain mengatakan bahwa kehadiran perempuan dalan
ranah politik sebenarnya juga untuk meminimalisir tindakan korupsi yang umumnya
didominasi oleh laki-laki, akan tetapi dalam perjalanannya ternyata kaum
perempuan juga terlibat dalam tindakan korupsi, mengapa demikian ?
Menurut tim penyusun
hal ini dikarenakan kaum perempuan belum terlalu mengenal liku-liku politik,
karena keterlibatan kaum perempuan dalam dunia politik itu bisa dikatakan baru
seumur jagung, dan hal ini membuat mereka kurang siap untuk menghadapi
kekejaman aktor politik karena mereka sendiri belum mempunyai pengalaman yang
mempuni dalam dunia politik, sehingga liku-liku politik yang dilalui belumlah
sangat dipahami kaum perempuan. Jadi wajar saja jika perempuan mudah terlibat
dalam kasus korupsi di dunia politik. Apalagi adanya sistem budaya patriarki di
dunia politik bahwa perempuan kerapkali ditempatkan pada posisi bawah termasuk
dalam dunia politik, kaum perempuan yang bergabung dalam partai politik umumnya
jarang sekali menempati posisi ketua atau pemimpin sehingga hal ini membuat
kaum perempuan menjadi tersubordinasi dan mereka harus mematuhi instruksi
pemimpin mereka, boleh jadi karena mereka loyal terhadap pemimpinnya ketika
mereka mengadakan kontrak kerja misalnya kasus wisma atlet, perempuanlah yang
disuruh untuk menyiapkan kuitansi wisma atlet tersebut dan ini tentunya membuat
mereka terjebak dalam kasus korupsi karena kaum perempuan belum mempunyai
pengalaman yang cukup di dunia politik, bisa jadi kuitansi yang diberikan oleh
pemimipin tadi adalah penggelapan dana wisma atlet.
Merebaknya keterlibatan
kaum perempuan dalam tindakan korupsi mampu mengafirmasi beberapa tendensi.
Pertama,
semakin
terbukanya akses bagi perempuan terhadap kekuasaan. Sisi gelap dari kekuasaan
yang berkorelasi dengan praktik tindak korupsi senada dengan pernyataan tokoh
Lord Acton, bahwa “ korupsi tidak memperdulikan gender pelakunya”, secara
kuantitas memperbesar peluang perempuan korup, semakin tinggi kekuasaan
seseorang semakin besar peluang seseorang untuk melakukan tindakan korupsi,
misalnya yang menimpa Angelina Sondakh, Miranda Goeltom, dan Wa Ode Nurhayati.
Kedua,
pandangan
esensialis mengenai bahwa kaum perempuan kurang memiiki kecenderungan untuk
mencuri uang rakyat, namun perempuan bukan hanya berlaku sebagai identitasnya
sebagai perempuan. Identitas lain turut menyertainya. Perempuan juga merupakan
bagian dari kemanusiaan yang tentunya pernah melakukan khilaf, teledor
sekaligus jahat saat mengemban jabatan seperti tindakan korupsi yang dilakukan
oleh kaum perempuan.
1.
Faktor internal, merupakan faktor pendorong
korupsi dari dalam diri, yang dapat dirinci menjadi:
a.
Aspek Perilaku Individu
•
Sifat tamak/rakus manusia.
Korupsi,
bukan kejahatan kecil-kecilan karena mereka membutuhkan makan. Korupsi adalah kejahatan orang profesional
yang rakus. Sudah berkecukupan, tapi serakah. Mempunyai hasrat besar untuk
memperkaya diri. Unsur penyebab korupsi pada pelaku semacam itu datang dari
dalam diri sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus. Maka tindakan keras tanpa
kompromi, wajib hukumnya.
•
Moral yang kurang kuat
Seorang
yang moralnya tidak kuat cenderung mudah tergoda untuk melakukan korupsi.
Godaan itu bisa berasal dari atasan, teman setingkat, bawahannya, atau pihak
yang lain yang memberi kesempatan untuk itu.
•
Gaya hidup yang konsumtif.
Kehidupan
di kota-kota besar sering mendorong gaya hidup seseong konsumtif. Perilaku
konsumtif bila tidak diimbangi dengan pendapatan yang memadai akan membuka
peluang seseorang untuk melakukan berbagai tindakan untuk memenuhi hajatnya.
Salah satu kemungkinan tindakan itu adalah dengan korupsi. Kontrol seluruh
anggota masyarakat pada perangkat pemerintah dapat meningkatkan sistem
pelayanan yang lebih terbuka dan transparan. Sehingga praktek-praktek korupsi
dalam sistem pelayanan masyarakat dapat diredam.
b.
Aspek Sosial
Perilaku
korup dapat terjadi karena dorongan keluarga. Kaum behavioris mengatakan bahwa
lingkungan keluargalah yang secara kuat memberikan dorongan bagi orang untuk
korupsi dan mengalahkan sifat baik seseorang yang sudah menjadi traits
pribadinya. Lingkungan dalam hal ini malah memberikan dorongan dan bukan
memberikan hukuman pada orang ketika ia menyalahgunakan kekuasaannya.
2. Faktor eksternal, pemicu perilaku korup yang
disebabkan oleh faktor di luar diri pelaku.
a.
Aspek sikap masyarakat terhadap korupsi
Pada
umumnya jajaran manajemen selalu menutupi tindak korupsi yang dilakukan oleh
segelintir oknum dalam organisasi.
Akibat
sifat tertutup ini pelanggaran korupsi justru terus berjalan dengan berbagai
bentuk. Oleh karena itu sikap masyarakat yang berpotensi menyuburkan tindak
korupsi terjadi karena :
•
Nilai-nilai di masyarakat kondusif untuk terjadinya korupsi.
Korupsi
bisa ditimbulkan oleh budaya masyarakat. Misalnya, masyarakat menghargai
seseorang karena kekayaan yang dimilikinya. Sikap ini seringkali membuat
masyarakat tidak kritis pada kondisi, misalnya dari mana kekayaan itu
didapatkan.
•
Masyarakat kurang menyadari bahwa korban utama korupsi adalah masyarakat
sendiri.
Anggapan
masyarakat umum terhadap peristiwa korupsi, sosok yang paling dirugikan adalah
negara. Padahal bila negara merugi, esensinya yang paling rugi adalah
masyarakat juga, karena proses anggaran pembangunan bisa berkurang sebagai
akibat dari perbuatan korupsi.
•
Masyarakat kurang menyadari bila dirinya terlibat korupsi.
Setiap
perbuatan korupsi pasti melibatkan anggota masyarakat. Hal ini kurang disadari
oleh masyarakat. Bahkan seringkali masyarakat sudah terbiasa terlibat pada
kegiatan korupsi sehari-hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
•
Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah dan diberantas bila
masyarakat ikut aktif dalam agenda pencegahan dan pemberantasan.
Pada
umumnya masyarakat berpandangan bahwa masalah korupsi adalahtanggung jawab
pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi itu bisa
diberantas hanya bila masyarakat ikut melakukannya.
Dengan
demikian instabilitas politik, kepentingan politis, meraih dan mempertahankan
kekuasaan sangat potensi menyebabkan
perilaku korupsi
b. Aspek Organisasi
•
Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi
pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal mempunyai pengaruh penting
bagi bawahannya. Bila pemimpin tidak bisa memberi keteladanan yang baik di
hadapan bawahannya, misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya
akan mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
•
Tidak adanya kultur organisasi yang benar
Kultur
organisasi biasanya punya pengaruh kuat terhadap anggotanya. Apabila kultur
organisasi tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan berbagai situasi tidak
kondusif mewarnai kehidupan organisasi. Pada posisi demikian perbuatan negatif,
seperti korupsi memiliki peluang untuk terjadi.
•
Kurang memadainya sistem akuntabilitas
Institusi
pemerintahan umumnya pada satu sisi belum dirumuskan dengan jelas visi dan misi
yang diembannya, dan belum dirumuskan tujuan dan sasaran yang harus dicapai
dalam periode tertentu guna mencapai hal tersebut. Akibatnya, terhadap instansi
pemerintah sulit dilakukan penilaian apakah instansi tersebut berhasil mencapai
sasaranya atau tidak. Akibat lebih lanjut adalah kurangnya perhatian pada
efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki. Keadaan ini memunculkan situasi
organisasi yang kondusif untuk praktik korupsi.
•
Kelemahan sistim pengendalian manajemen
Pengendalian
manajemen merupakan salah satu syarat bagi tindak pelanggaran korupsi dalam
sebuah organisasi. Semakin longgar/lemah pengendalian manajemen sebuah
organisasi akan semakin terbuka perbuatan tindak korupsi anggota atau pegawai
di dalamnya.
•
Lemahnya pengawasan
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua,
yaitu pengawasan internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung oleh
pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari legislatif dan
masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena beberapa faktor,
diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan pada berbagai instansi, kurangnya
profesional pengawas serta kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun
pemerintahan oleh pengawas sendiri.
BAB
III
PENUTUP
Kata
“korupsi” berasal dari bahasa Latin
“corruptio” (Fockema Andrea :
1951) atau “corruptus” (Webster Student Dictionary : 1960). Selanjutnya
dikatakan bahwa “corruptio” berasal dari kata “corrumpere”, suatu bahasa Latin yang lebih
tua. Dari bahasa Latin tersebut kemudian
dikenal istilah “corruption,
corrupt” (Inggris), “corruption”
(Perancis) dan
“corruptie/korruptie” (Belanda). Arti kata korupsi secara harfiah adalah
kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian.
Kasus
korupsi ini tidak lagi mengenal jenis kelamin, banyak wanita yang sudahb
terlibat dalam kasus korupsi, tindakan korupsi ini tidak ada hubungannya dengan
jenis kelamin, termasuk mengapa perempuan itu terlibat dalam kasus korupsi,
setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkannya, antara lain:
1. Aspek
ekonomi
2. Aspek
Sekulerisme dan hedonism
3. Aspek
Politis
4. Moral
yang kurang kuat
5. Gaya
hidup yang konsumtif
6. Dll
Dari
beberapa faktor di atas menurut penyusun mengapa kaum perempuan mudah terlibat
dalam tindakan korupsi, karena aspek politik. Kaum perempuan terlibat dalam
dunia politik masih dibilang baru, sehingga perempuan belum terlalu mengenal
liku-liku politik dan mudah terjebak dalam tindakan korupsi, untuk itu kaum
perempuan harus lebih berhati-hati dalam memasuki dunia politik, karena kalau
kita belum paham suatu zona maka kita akan tersesat dalam zona tesebut, oleh
karena itu sebelum kaum perempuan terjun ke dunia politik mereka haruslah bisa
memetakan seperti apa peluang dan kendala dalam politik. Selain itu juga untuk
mengatasi masalah korupsi diperlukan kerjasama yang baik antara seluruh
komponen, mulai dari aktor hokum, massa, pemerintah dan juga tentunya harus
melibatkan masyarakat agar tercapailah kondisi Negara yang sejahtera.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal
Irwan, Dzoeraini, 2009, Besarnya
Eksploitasi Perempuan dan Lingkungan di Indonesia. Elex Media Komputindo.
Jakarta.
Jian
Ugm, Map Ugm, 2009, Reformasi Birokrasi,
Kepemimpinan dan Pelayanan Publik. Gava Media. Yogyakarta.
Alkostar, Artidjo, 2008, Korupsi Politik di Negara Modern. Fh Uii
Press. Yogyakarta. Puspito, Nanang, Elwina S. Marcella, Sri Utari, Indah, 2011,
Pendidikan Anti-Korupsi
Untuk Perguruan Tinggi, Jakarta.
Undang-Undang Dasar 1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar